“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Ar Rahman: 9)
“ …dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-Nisa: 58)
“ … Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9)
Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sebaik-baiknya perbuatan (‘amal) adalah yang pertengahan.”
(HR. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 8/411/3730. As Sam’ani meriwayatkan dalam Dzail Tarikh Baghdad secara marfu’ dari Ali, tetapi dalam sanadnya terdapat periwayat yang majhul. Ad Dailami juga meriwayatkan tanpa sanad dari Ibnu Abbas secara marfu’. Lihat Imam ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/391 dan Imam As Sakhawi, Al-Maqashid Al-Hasanah,
Hal. 112. Imam As Suyuthi menyandarkan ucapan ini adalah ucapan
Mutharrif bin Abdillah dan Abu Qilabah, yakni sebaik-baiknya urusan (Al-Umur) adalah yang pertengahan. Lihat Ad-Durul Mantsur, 6/333)
Mukadimah
dakwatuna.com - Dusta jika ada manusia tidak butuh
nasihat, sombong jika ada manusia tidak butuh bimbingan. Kita semua
membutuhkannya. Sebab manusia itu memiliki potensi benar dan salah,
Allah Taala berfirman:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” (Asy-Syams: 8)
Dengan potensi kefasikan yang sudah ada saja sudah cukup bagi manusia
untuk melakukan penyimpangan, ditambah lagi adanya gangguan syaitan la’natullah ‘alaih, yang selalu mengajak manusia ke jalan yang sesat menjadi pengikut mereka, Allah Taala berfirman:
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia
musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak
golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Namun demikian, Allah Tabaraka wa Taala juga menyediakan
berbagai mekanisme penjagaan dan perawatan fitrah seorang mukmin, salah
satunya adalah budaya saling memberikan nasihat (munashahah) dan tadzkirah. Inilah budaya yang mengeluarkan manusia dari zona Al-Khusr (kerugian), Allah Taala berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati
supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1-3)
Inilah budaya yang bermanfaat buat orang beriman, Allah Taala berfirman:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Ya, peringatan ini bermanfaat untuk hati orang-orang mukmin (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, 7/425)
karena hatilah panglima aktivitas menuju perubahan dan perbaikan.
Kecerdasan manusia tidaklah mencukupi jika hati belum ada kemauan untuk
berubah.
Atas dasar ini, dengan memposisikan diri sebagai bagian dari objek taushiyah dan tidak menggurui, kami turunkan risalah ini yang kami beri tajuk ‘Seruan Nabawi Untuk Kader dan Qiyadah’ dalam
rangka melerai pertikaian dan menyudahi kedengkian, tidak meluas
wilayahnya (sebab ini hanyalah guncangan Jadebotabek dan internet,
sedangkan di daerah-daerah sama sekali tidak dirasakan), demi keutuhan
jamaah, kemajuan, dan kejayaan dakwah Islam. Allah Taala berfirman:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!” (Al-Hujurat: 9)
Mendamaikan orang-orang beriman dengan mengajak mereka kembali
merujuk Kitabullah dan rela terhadap apa-apa yang ditetapkan-Nya untuk
dan atas mereka, dan kitabullah merupakan media paling adil untuk
mendamaikan manusia (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 22/292), maka mari kita jadikan marja’ utama kita, yakni Al-Quran dan As Sunnah sebagai pemersatu kita semua.
Taujih Nabawi Untuk Aktivis Dakwah
Maksud ‘kader’ di sini adalah siapa saja yang masih mengikuti proses
tarbiyah secara intens di berbagai jenjangnya, apa pun jabatan mereka di
jamaah dan hizb, atau yang tidak menjadi apa-apa. Ada pun bagi
yang tidak masuk kategori ini, namun ikut bermain api di dalamnya, dan
ikut memperkeruh suasana dan memprovokasi, maka kami ingatkan untuk para
kader terhadap tipuan mereka:
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, Padahal mereka tidak
menyukai kamu, dan kamu beriman kepada Kitab-Kitab semuanya. apabila
mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka
menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci
terhadap kamu.” (Al-Imran: 119)
Ya, jika mereka berdiskusi dengan kita, berhadapan dengan kita,
mereka menyatakan bahwa “Kami adalah kader tarbiyah,” tetapi perilaku
mereka bak menyiram bensin di kobaran api yang kecil. Sehingga,
perselisihan kecil, nasihat biasa, dijadikannya sebagai pisau pembunuh
keutuhan jamaah hingga permasalahan melebar ke mana-mana. Untuk mereka
ini, para outsider yang ikut bersandiwara di dalam wacana dan dialektika jamaah, maka cukuplah bagi kalian:
“Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.” (Ali Imran: 119)
Sebaliknya, untuk para kader tarbiyah, diam adalah lebih baik jika
belum tahu permasalahan. Tidak terpancing emosi, bersikap, dan komentar
yang melebihi kapasitasnya. Tidak termakan berita bohong, atau justru
menjadi penyebar berita bohong. Teruslah menuntut ilmu, berdakwah, dan
beramal.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 36)
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.” (An-Nur: 11)
Berikut adalah Taujih Nabawi yang bertebaran di berbagai kitab hadits untuk para kader. Kami akan sampaikan beberapa saja, di antaranya:
A. Tetaplah Taat Selama Perintah Bukan Maksiat
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي
فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ
يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ
عَلَيْهِ مِنْهُ
“Barangsiapa yang mentaatiku, maka dia telah taat kepada Allah.
Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka dia telah maksiat kepada
Allah. Barangsiapa yang taat kepada pemimpin maka dia telah mentaatiku.
Barangsiapa yang membangkang kepada pemimpin, maka dia telah bermaksiat
kepadaku. Sesungguhnya pemimpin adalah perisai ketika rakyatnya
diperangi dan yang memperkokohnya. Jika dia memerintah dengan ketaqwaan
kepada Allah dan keadilan, maka baginya pahala. Jika dia mengatakan
selain itu, maka dosanya adalah untuknya.” (HR. Bukhari, 10/114/2737. Muslim, 9/364/3417. An Nasa’i, 13/95/4122. Ibnu Majah, 8/393/2850. Ahmad, 15/166/7125)
Hadits ini tidak syak lagi, berbicara tentang keutamaan pemimpin yang
tidak dimiliki oleh selainnya. Ketaatan kepada mereka dan pembangkangan
kepada mereka seakan disetarakan dengan ketaatan dan pembangkangan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam konteks jamaah dakwah, maka para qiyadah adalah pemimpin kita.
Qiyadah seperti apa yang berhak mendapatkan ketaatan dari umatnya
(baca: kader)? Al-Hafzih Ibnu Hajar mengatakan setiap yang memerintahkan
dengan kebenaran dan dia seorang yang adil, maka dia adalah pemimpin
yang oleh Asy Syaari’ (pembuat syariat) diperintahkan agar memerintah dengan syariat-Nya. (Fathul Bari, 20/152)
Jadi, patokannya adalah
syariah, sejauh mana ketaatan pemimpin tersebut kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan syariat yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Sejauh mana pula
kebenaran perintah mereka dalam timbangan syariah. Namun,
sebagian ulama Ahlus Sunnah tetap mempertahankan bahwa pemimpin yang
fasiq tetaplah harus ditaati perintahnya yang baik-baik, adapun
kefasiqannya ditanggung oleh dirinya sendiri sesuai hadits di atas.
Untuk perintah yang maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, maka
semua ulama sepakat tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang memerintah
seperti itu. Banyak hadits yang menegaskan hal demikian, di antaranya:
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).” (HR. Muslim, 9/371/3424. Abu Daud, 7/210/2256. An-Nasa’i, 13/114/4134. Ahmad, 2/192/686. Al-Baihaqi, As Sunan Al-Kubra, 8/156. Sementara Bukhari meriwayatkan tanpa lafaz Laa Tha’ata fi Ma’shiyatillah, 13/237/3995)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Dengar dan taat atas seorang muslim adalah pada apa yang disukai dan
dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk
maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati.” (HR. Bukhari, 22/52/6611. Abu Daud, 7/211/2257. At Tirmidzi, 6/300/1929. Ahmad, 9/475/4439. Al-Baihaqi, As Sunan Al-Kubra, 3/127)
Dari hadits-hadits ini mereka sepakat, bahwa yang tidak
ditaati adalah perintahnya saat ia memerintahkan perintah yang maksiat
tersebut, baik perintah itu datangnya dari pemimpin yang adil atau
zhalim terhadap rakyatnya, suami ke pada istrinya, orang tua kepada
anaknya, jenderal kepada prajuritnya, dan sebagainya.
Para ulama berbeda pendapat, apakah juga wajib tetap taat
kepada pemimpin yang fasiq dan zhalim, namun belum kafir. Ini dilihat
dari sisi kepribadian pemimpin tersebut, bukan dilihat dari isi (content) yang diperintahkan.
Kebanyakan Ahli hadits mengatakan, tetap wajib taat
kepada pemimpin yang zhalim dan fasiq, serta bersabar menghadapi mereka,
selama mereka masih menegakkan shalat, dan belum melakukan tindakan
yang mengeluarkannya dari Islam secara nyata (kufrun bawaah), dan
selama perintahnya bukan maksiat, ada pun kefasikan dan kezhaliman
pemimpin, maka itu ditanggung oleh dirinya sendiri. Ini juga pendapat Imam Hasan Al-Bashri.
Sebagian muhaqqiq dari kalangan Syafi’iyah menyatakan wajibnya mentaati pemimpin, baik perintah atau larangan, selama bukan perintah haram. (Imam Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, 4/106)
Imam Ar-Razi mengatakan, taat kepada Allah, Rasul, dan Ahli ijma’ adalah pasti (qath’i), ada pun terhadap pemimpin dan penguasa, tidaklah taat secara pasti, bahkan kebanyakan adalah haram, karena mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezhaliman (li annahum Laa ya’muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul Ghaib, 5/250)
Mereka berdalil dengan banyak hadits, di antaranya hadits berikut:
إلا أن تروا كفرا بَوَاحا، عندكم فيه من الله برهان
“Kecuali kalian melihatnya melakukan kekafiran yang nyata, dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari, 21/444/6532. Muslim, 9/374/3427)
Dalil lainnya, dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu beliau berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ
فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا
الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ
قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ
قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ
وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ
قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ
لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Ya Rasulullah, sesungguhnya mendapatkan keburukan lalu datanglah
kebaikan dari Allah, dan kami saat itu masih ada. Apakah setelah
kebaikan itu datang keburukan lagi?” Rasulullah menjawab: “Ya.”
Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan
lagi?” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah
kebaikan akan datang keburukan lagi.” Rasulullah menjawab: “Ya.”
Hudzaifah bertanya lagi: “Bagaimana itu?” Rasulullah menjawab: “Akan ada
setelahku nanti, para pemimpin yang tidaklah menuntun dengan
petunjukku, tidak berjalan dengan sunahku, dan pada mereka akan ada
orang-orang yang berhati seperti hati syaitan dalam tubuh manusia.”
Hudzaifah bertanya: “Apa yang aku lakukan jika aku berjumpa kondisi itu
Ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Dengarkan dan taati pemimpinmu, dan jika punggungmu dipukul dan diambil hartamu, maka dengarkan dan taat.” (HR. Muslim, 9/387/3435. Al-Baihaqi. As-Sunan Al-Kubra, 8/157. Ath-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Ausath, 6/459/3003. Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ
وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ
وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا
عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun
mencintai kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian juga mendoakan
mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan
mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka pun
melaknat kalian.” Rasulullah ditanya: “Ya Rasulullah tidakkah kami
melawannya dengan pedang?” Rasulullah menjawab: “Jangan, selama mereka
masih shalat bersama kalian. Jika kalian melihat pemimpin kalian
melakukan perbuatan yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya, dan
jangan angkat tangan kalian dari ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim, 9/403/3447. Ahmad, 49/11/22856. Al-Baihaqi, As Sunan Al-Kubra, 8/158. Ath-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir, 12/431. Ad-Darimi, 9/19/2853. Ibnu Hibban, 19/182/4672. Al-Maktabah Asy Syamilah)
Imam An Nawawi mengatakan, tidak dibenarkan keluar dari
ketaatan kepada pemimpin jika semata karena kezhaliman dan kefasikannya,
selama dia tidak merubah kaidah-kaidah agama. (Syarh Shahih Muslim, 6/327)
Selain itu, Imam Bukhari menulis sebuah Bab dalam kitab Shahih-nya, Kewajiban berjihad bersama orang baik atau fajir (Al Jihad Maadhin ‘Alal Barri wal Faajir). Begitu pula Imam Abu Daud, beliau membuat bab dalam kitab Sunan-nya, Perang Bersama Pemimpin yang zhalim (Fil Ghazwi ma’a A’immati Al-Jauri). Sehingga Imam Ahmad
menjadikannya alasan bahwa tidak ada perbedaan antara berjihad bersama
pemimpin yang adil atau zhalim, keutamaan-keutamaan jihad tetap akan
didapatkan. (Fathul Bari, 8/474). Begitu pula yang dikatakan Imam Asy Syaukani (Nailul Authar, 11/495). Syaikh Sayyid Sabiq
mengatakan, tidak disyaratkan berjihad itu harus dengan hakim yang
adil, atau pemimpin yang baik, sebab jihad wajib dalam segala keadaan. (Fiqhus Sunnah, 2/640)
Begitu juga dalam shalat, para ulama menetapkan kebolehan berimam
kepada orang zhalim dan fasiq, karena dahulu para sahabat, di antaranya
Ibnu Umar pernah berimam kepada penguasa zhalim, gubernur Madinah, Hajaj
bin Yusuf Ats Tsaqafi (pembunuh Abdullah bin Zubeir) sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan bahwa
Abu Said Al-Khudri shalat di belakang khalifah Marwan. Imam An Nasa’i
membuat Bab dalam kitab Sunan-nya, Shalat Bersama Imam zhalim (Ash-Shalatu Ma’a A’immatil Jauri).
Demikianlah alasan para ulama yang tetap mewajibkan taat kepada
pemimpin fasiq dan zhalim, selama mereka masih muslim, dan isi
perintahnya adalah bukan maksiat.
Sementara, sebagian Imam Ahlus Sunnah lainnya menyatakan tidak wajib
taat kepada pemimpin yang zhalim dan fasiq, karena kefasikan dan
kezhalimannya itu, bukan hanya karena faktor isi perintahnya saja yang
berisi maksiat.
Dalilnya adalah:
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampaui batas.(yaitu)
mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (Asy-Syu’ara: 151-152)
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk
mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat
berlebihan.” (Al-Kahfi: 28)
Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al-Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana
manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk
berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)[1]
Artinya, ketika pemimpin tersebut sudah tidak di atas kebenaran (baik
karena perilaku atau pemahaman pribadi), maka tidak ada kewajiban taat
kepadanya. Imam Al-Baidhawi tidak membicarakan tentang isi
perintahnya. Makna pemimpin pun tidak sebatas pada khalifah, tetapi juga
pemimpin apa pun, termasuk dalam konteks pembahasan kita, yakni qiyadah sebuah jamaah atau organisasi.
Bahkan Imam Abul Hasan Al-Mawardi mengatakan, bahwa umat berhak meminta pencopotan kepada pemimpin jika mereka memang hilang ke’adalahannya, yakni melakukan kefasikan (baik karena syahwat atau syubhat) dan cacat tubuhnya. (Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28). Ini juga diriwayatkan sebagai pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Ibnu Hazm, dan Imam Al-Ghazali.
Bapak sosiolog Islam, Ibnu Khaldun juga mengatakan tidak boleh
dikatakan ‘memberontak’ bagi orang yang melakukan perlawanan terhadap
pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan contoh perlawanan Al-Husein
terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai pemimpin yang
fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al-Husein adalah benar, ijtihadnya benar,
dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh dia disebut bughat (memberontak/makar) sebab istilah memberontak hanya ada jika melawan pemimpin yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113)
Sebaliknya, Imam Ibnu Taimiyah menganjurkan untuk sabar, tidak memberontak menghadapi ‘musibah’ pemimpin yang zhalim (Majmu’ Fatawa, 1/262)
Akhirnya …, setelah panjang lebar kami menguraikan, bagaimana
menyikapi pemimpin yang melakukan penyimpangan, fasiq, dan zhalim,
nampak jelas bagi kami bahwa sikap tetap taat dan sabar adalah lebih utama dan lebih membawa maslahat, dan dapat mencegah kemudharatan serta chaos berkepanjangan, walau keputusan dan perilaku sebagian qiyadah sangat ‘menggeramkan’ dan ‘menjengkelkan’
menurut sebagian kader, yang penting kader tidak diperintah untuk
maksiat yang nyata, dan baik sangka lebih dikedepankan, bahwa mustahil qiyadah memerintahkan kadernya untuk maksiat kepada Allah Taala. Dan wajh istidlal (sisi pendalilan) sikap ini pun lebih argumentatif dan legitimate.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ
فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا
فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang melihat pemimpinnya ada sesuatu yang dibencinya,
maka hendaknya dia bersabar, sebab barang siapa yang memisahkan diri
dari jamaah walau sejengkal lalu dia mati, maka matinya dalam keadaan
jahiliyah.” (HR. Bukhari, 21/443/6531. Muslim, 9/390/3438. Ahmad, 5/389/2357. Ath-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir, 10/305/12590. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 16/46/7239. Ad-Darimi, 8/6/2574. Abu Ya’la, 5/402/2293)
Dari hadits ini, tentu kami tidak mengatakan ‘jahiliyah’ orang yang
keluar dari jamaah tarbiyah, sebab hadits ini sedang berbicara tentang jamaatul muslimin (jamaah umat Islam keseluruhan). Tetapi ada pelajaran berharga dari hadits ini yakni perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
umatnya agar bersabar menghadapi pemimpin yang perilaku, pemahaman,
atau keputusannya tidak disukai mereka. Ini alasan yang kuat kenapa
kader hendaknya mengambil sikap taat dan sabar. Kami rasa sikap ini
lebih bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, karena didasari oleh
dalil dan pandangan para ulama, bukan karena emosi.
Imam An Nawawi menjelaskan makna miitatan jahiliyah (mati jahiliyah) dalam hadits tersebut, dengan
huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya
kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam
(pada masa jahiliyah). (Syarah Shahih Muslim, 6/322/3436)
Sementara Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar, menjelaskan; bahwa yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan
huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti
matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam
yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 11/399)
Ada pun surat Al-Kahfi ayat 28: “Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami.” Tidak bisa dijadikan hujjah, sebab maksudnya adalah orang-orang yang hatinya lebih condong kepada syirik dibanding tauhid. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/384). Atau menyibukkan diri dengan dunia dan melupakan ibadah dan Rabbnya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 5/154). Apakah ada yang tega menyebut qiyadah telah melakukan syirik yang nyata? (misal, karena iklan Soekarno, “Aku adalah budak rakyatku,” yang membawa dampak Syirk lafzhiyah). Atau mengatakan, qiyadah telah mendahulukan dunia di banding ibadah dan Rabbnya, bukankah mereka memiliki lembaran mutaba’ah harian? Maka, bagi (kader) yang menyatakan demikian, maka dia telah ghuluw (kelewat batas) dan lebih mendahulukan zhan.
Masalahnya adalah benarkah qiyadah telah melakukan tindakan kefasiqan, kezhaliman, dan apa pun yang membuatnya layak untuk tidak ditaati
menurut sebagian ulama? Ataukah itu karena perasaan, tuduhan, atau
informasi yang tidak utuh, atau ada pihak ketiga yang bermain dan lebih
dipercaya oleh kader, atau hanya karena perbedaan ijtihad politik saja?
Jika benar qiyadah telah melakukan kefasiqan dan
kezhaliman, itu pun bukan alasan yang kuat untuk membangkang sebagaimana
uraian panjang di atas. Jika tidak benar, maka lebih tidak ada alasan lagi untuk membangkang. Namun, seharusnya qiyadah pun harus memberikan penjelasan, tanpa ada yang disembunyikan, tentang berbagai masalah yang digugat oleh kader. Wallahu A’lam
Ketahuilah dan fahamilah …, betapa pun keras kritikan kalian (kader)
terhadap qiyadah, maka qiyadah bukanlah syaitan yang selalu berbuat
salah dan selalu mengajak pada kesalahan. Sebagaimana kalian pun
bukanlah malaikat yang selalu benar tanpa kesalahan.
B. Meninggalkan Perdebatan Yang Tidak Berguna
Tanpa disadari, sebagian kader terlena dalam perdebatan panjang dan
sengit, dan mengabaikan akhlak Islam, namun tidak produktif dan justru
mengotorkan hati.
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا
وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ
النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat hal yang barangsiapa keempat hal itu ada pada diri
seseorang maka dia adalah munafik sejati, dan barangsiapa yang memiliki
satu saja, maka dia memiliki perangai kemunafikan sampai dia
meninggalkannya, yaitu: jika diberi amanah dia khianat, jika bicara dia
berbohong, jika berjanji dia melanggar, dan jika berbantahan buruk
akhlaknya.” (HR. Bukhari, 1/59/33. Muslim, 1/190/88. Abu Daud,
12/298/4068. At Tirmidzi, 9/222/2556. An Nasa’i, 15/219/4934. Ibnu
Hibban, 1/497/254)
Maka, hendaknya kader dakwah meninggalkan perdebatan sengit yang
memancing emosi dan melunturkan akhlak, sebab ditakutkan tumbuhnya bibit
kemunafikan dalam hati kita, paling tidak perbuatan persebut menyerupai
orang munafiq sebagaimana yang dijelaskan para ulama.
Imam An Nawawi memberikan penjelasan, bahwa para ulama telah ijma’ barang
siapa yang sudah beriman di hati dan diucapkan dengan lisan, lalu dia
melakukan hal-hal yang ada dalam hadits ini, maka mereka tidaklah
dihukumi kafir dan tidak pula dihukumi munafiq yang membuatnya kekal di
neraka, sebab saudara-saudara Nabi Yusuf ‘Alaihissalam telah melakukan semua perilaku ini. Demikian juga ditemukan bagi sebagian salaf dan ulama, baik sebagian
atau seluruhnya. Hadits ini, segala puji bagi Allah, tidak ada
kemusykilan, hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam memaknainya.
Pendapat para muhaqqiq yang mayoritas, dan menjadi pendapat
pilihan yang benar adalah perangai-perangai ini adalah perangai munafiq,
bagi pelakunya dia telah menyerupai orang munafiq dan berakhlak dengan
akhlak mereka (kaum munafiq). Ada pun nifaq, adalah
menampakkan apa-apa yang dihatinya berbeda. Pengertian ini memang ada
pada orang-orang yang melakukan perangai tersebut, yang menjadikannya
nifaq secara hak dalam dirinya, berupa pembicaraannya, janjinya,
amanahnya, atau berbantahannya. Tetapi ini bukanlah munafiq yang
zhahirnya menampakkan Islam dan hatinya kufur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah bermaksud munafiq di sini adalah munafiq yang membuat pelakunya adalah kafir dan kekal di neraka paling bawah. (Syarh Shahih Muslim, 1/150/88. Lihat pula keterangan lebih ringkas di ‘Aunul Ma’bud, 10/207)
Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa para ulama mengartikan nifaq pada hadits ini adalah nifaq amal (nifak perbuatannya), bukan nifaq takdzib (nifaq karena sikap mendustakan dihatinya) sebagaimana pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, demikianlah yang diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa nifaq ada dua, yakni nifaq amal dan nifaq takdzib. (Sunan At Tirmidzi, 9/222). Al-Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa nifaq di sini adalah bahwa pelakunya dihukum seperti munafiq, yakni nifaq amal. (Fathul Bari, 1/54)
Kita pun diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa SallamI bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR.
At Tirmidzi,8/294/ 2239. Malik, 5/381/1402, dari Ali bin Husein bin Ali
bin Ab Thalib. Ibnu Majah, 11/ 472/3966. Ahmad, 4/168/1646, dari Ali
bin Abi Thalib. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Misykah Al-Mashabih, 3/49/4839)
Imam Hasan Al-Banna juga mengatakan dalam 10 wasiatnya, pada
wasiat no. 4: “Tinggalkanlah perdebatan dalam masalah dan kondisi
apapun, karena perdebatan tidaklah mendatangkan kebaikan.” (Risalatut Ta’alim wal Usar, Hal. 39. Darun Nashr Liththiba’ah Al-Islamiyah)
C. Tetap Menjaga Persatuan dan Soliditas
Tanpa adanya persatuan dan soliditas, maka kelemahan yang akan kita
dapatkan. Sayangnya kelemahan jamaah terjadi karena ulah kita sendiri.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.” (Al-Anfal: 46)
Maka beranilah memulai untuk memahami, memaklumi, dan memaafkan sesama ikhwah sebagai awal soliditas jamaah, berada di pihak mana pun kita. Serta menghilangkan kebencian, dengki (hasad), tajassus, memutuskan silaturahim, cuek, memboikot (hajr), sesama elemen jamaah.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali Imran: 159)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ
الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا
تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Hati-hatilah dengan prasangka, karena prasangka adalah
sedusta-dustanya perkataan. Janganlah saling mendengarkan keburukan,
saling mencari kesalahan, saling mendengki , saling tidak peduli, saling
membenci, dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari, 19/8/5604)
Hadits serupa sangat banyak, hanya saja berbeda sedikit matan(redaksi)-nya . Ada yang wa laa tanaajasyu (jangan saling memfitnah) (Bukhari, 19/11/5606), atau wa laa taqaatha’uu (jangan saling memutuskan silaturahim) (Muslim, 12/415/4642), atau wa laa tanaafasuu (jangan saling bersaing/bermegah-megah) (Muslim, 12/421/4646), ada juga tambahan, “tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya leih tiga hari.” (HR. At-Tirmidzi, 7/180/1858, dari jalur Anas, hasan shahih), dan yang semisalnya.
Syahidul Islam, Imam Hasan Al-Banna Rahimahullah berkata:
أن ترتبط القلوب والأرواح برباط العقيدة ، والعقيدة أوثق
الروابط وأغلاها ، والأخوة أخت الإيمان ، والتفرق أخو الكفر ، وأول القوة :
قوة الوحدة ، ولا وحدة بغير حب , وأقل الحب: سلامة الصدر , وأعلاه : مرتبة
الإيثار , (وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ
خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)
(الحشر:9) .
والأخ الصادق يرى إخوانه أولى بنفسه من نفسه ، لأنه إن لم
يكن بهم ، فلن يكون بغيرهم ، وهم إن لم يكونوا به كانوا بغيره , (وإنما
يأكل الذئب من الغنم القاصية) , (والمؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه
بعضاً). (وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ) (التوبة:71) , وهكذا يجب أن نكون
“Ukhuwah adalah keterikatan hari dan ruh dengan ikatan aqidah.
Ikatan aqidah adalah ikatan yang paling kuat dan paling mulia. Ukhuwah
adalah saudara keimanan, dan perpecahan adalah saudara kekufuran;
kekuatan yang pertama adalah kekuatan persatuan, tak ada persatuan tanpa
rasa cinta, dan sekecil-kecilnya cinta adalah lapang dada, dan yang
paling tinggi adalah itsar (mendahulukan kepentingan saudara).” Barangsiapa
Yang menjaga serta memelihara dirinya daripada dipengaruhi oleh tabiat
bakhilnya, maka merekalah orang-orang yang berjaya.(Al-Hasyr: 9)
Akh yang benar akan melihat saudara-saudaranya yang lain lebih
utama dari dirinya sendiri, karena ia jika tidak bersama mereka, tidak
akan dapat bersama yang lain. Sementara mereka jika tidak bersama
dirinya, akan bisa bersama orang lain. Dan sesungguhnya Srigala hanya akan memangsa kambing yang sendirian. Seorang muslim dengan muslim lainnya laksana satu bangunan, saling menguatkan satu sama lain.
Dan orang-orang beriman baik laki-laki dan perempuan, satu sama lain tolong-menolong di antara mereka. (At-Taubah: 71). Begitulah seharus kita.” (Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, Majmu’ah ar-Rasail, hal. 313. Al-Maktabah At-Taufiqiyah). Wallahu a’lam
[1] Apa yang dikatakan Imam Al-Baidhawi juga bantahan bagi pihak yang membatasi makna Ulil Amri hanyalah pemimpin negara (umara) dan khalifah. Mereka menolak jika surat An- Nisa: 59 ini dijadikan dalil ketaatan kepada qiyadah dakwah. Cukuplah apa yang dikatakan Imam Al-Baidhawi ini untuk mereka. Pembatasan makna Ulil Amri seperti yang mereka katakan jelas kecerobohannya. Para Salaf seperti Ibnu Abbas mengartikan Ulil Amri adalah Ahlul Fiqh wad Din (Ahli fiqih dan agama). Sedangkan Atha’, Mujahid, Hasan Al-Bashri, Abul ‘Aliyah mengatakan, maksudnya adalah ulama. (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, 2/345. Darut Thayyibah Lit Tauzi’ wan Nasyr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar