Jakarta, Aktual.co —Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
menemukan banyak dosen terbukti memalsukan syarat pengajuan untuk
menjadi guru besar. Modus yang umum adalah pemalsuan karya tulis yang
dimuat dalam jurnal ilmiah.
Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemdikbud Supriadi Rustad memaparkan, ada sekitar 100 dosen setingkat lektor kepala terbukti memalsukan karya tulis. Mereka ada yang berasal dari perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS).
Dari 100 dosen tadi, empat orang sudah diturunkan pangkatnya, dan dua orang lagi dipecat. Banyak karya tulis yang katanya sudah dipublikasikan, ternyata dimuat di jurnal ilmiah “bodong”. Ada pula karya tulis yang ditempelkan di salah satu jurnal ilmiah, seolah merupakan bagian dalam jurnal tersebut.
“Ada juga yang mengaku anggota IKAPPI. Yang kita tahu IKAPI itu Ikatan Penerbit Indonesia, tapi kalau huruf ‘P’ ada dua yang saya tahu Ikatan Pedagang Pasar. Saat dicek, alamat tidak ada, palsu semua,” ujar Supriadi, saat ditemui pers di Jakarta, pekan lalu.
Motif pemalsuan karya tulis umumnya demi prestise mendapatkan gelar guru besar. Namun, aksi pemalsuan karya tulis selalu bisa terdeteksi, meski karya tulis asli itu hanya dimuat dalam jurnal ilmiah online. “Sekarang sudah bisa dilacak semua. Apalagi kini kami juga dibantu pengaduan dari masyarakat,” tuturnya.
Terkait pelanggaran itu, Ditjen Dikti sudah melakukan pembinaan kepada PTN maupun PTS di mana dosen tersebut bertugas. Pembinaan berupa penghentian layanan dari Ditjen Dikti, seperti tunjangan sertifikasi, beasiswa, dan kenaikan pangkat. Diharapkan, ada pula pembenahan institusi karena kasus pemalsuan itu.
“Perguruan tinggi juga bersalah, khususnya pimpinan PTS karena melakukan pembiaran,” tandas Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti ini.
Ditjen Dikti tengah menelusuri 12 kasus serupa, berupa pemalsuan persyaratan guru besar. Yang pasti, menurut Supriadi, jumlah kasus pemalsuan mulai berkurang karena PT kini tidak lagi sembarang meloloskan dosen yang mau mengajukan diri sebagai guru besar. “Biasanya tiap bulan ada 100 orang yang diajukan PTS jadi guru besar, tapi sekarang hanya sekitar 20-30 orang,” katanya.
Palsukan Dokumen
Selain pemalsuan karya tulis, Ditjen Dikti juga memasukkan nama-nama 400 PTS ke dalam daftar hitam (black list). Karena, ke400 PTS itu terbukti memalsukan dokumen atau data, seperti data jumlah dosen dan jumlah mahasiswa.
Pemalsuan data itu dilakukan, antara lain guna mengelabui pemenuhan syarat rasio dosen dan mahasiswa. Di sisi lain, banyak oknum yang memanfaatkan PTS guna mendapatkan tunjangan sertifikasi dosen. “Padahal syarat untuk menerima tunjangan sertifikasi, dosen yang bersangkutan harus dosen tetap. Ternyata banyak yang mengklaim sebagai dosen tetap, padahal dia hanya guru bahkan pegawai bank,” ungkap Supriadi.
Ditjen Dikti sudah melakukan pembinaan kepada 400 PTS tersebut berupa penundaan tunjangan sertifikasi dosen, beasiswa, dan kenaikan pangkat.
“Ditjen Dikti tetap terbuka untuk PTS yang mau ‘bertobat’. Mereka diminta memperbaiki data sesuai kondisi sebenarnya. Kalau benar-benar ‘bertobat’, baru layanan dari Dikti kami buka kembali,” katanya
Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemdikbud Supriadi Rustad memaparkan, ada sekitar 100 dosen setingkat lektor kepala terbukti memalsukan karya tulis. Mereka ada yang berasal dari perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS).
Dari 100 dosen tadi, empat orang sudah diturunkan pangkatnya, dan dua orang lagi dipecat. Banyak karya tulis yang katanya sudah dipublikasikan, ternyata dimuat di jurnal ilmiah “bodong”. Ada pula karya tulis yang ditempelkan di salah satu jurnal ilmiah, seolah merupakan bagian dalam jurnal tersebut.
“Ada juga yang mengaku anggota IKAPPI. Yang kita tahu IKAPI itu Ikatan Penerbit Indonesia, tapi kalau huruf ‘P’ ada dua yang saya tahu Ikatan Pedagang Pasar. Saat dicek, alamat tidak ada, palsu semua,” ujar Supriadi, saat ditemui pers di Jakarta, pekan lalu.
Motif pemalsuan karya tulis umumnya demi prestise mendapatkan gelar guru besar. Namun, aksi pemalsuan karya tulis selalu bisa terdeteksi, meski karya tulis asli itu hanya dimuat dalam jurnal ilmiah online. “Sekarang sudah bisa dilacak semua. Apalagi kini kami juga dibantu pengaduan dari masyarakat,” tuturnya.
Terkait pelanggaran itu, Ditjen Dikti sudah melakukan pembinaan kepada PTN maupun PTS di mana dosen tersebut bertugas. Pembinaan berupa penghentian layanan dari Ditjen Dikti, seperti tunjangan sertifikasi, beasiswa, dan kenaikan pangkat. Diharapkan, ada pula pembenahan institusi karena kasus pemalsuan itu.
“Perguruan tinggi juga bersalah, khususnya pimpinan PTS karena melakukan pembiaran,” tandas Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti ini.
Ditjen Dikti tengah menelusuri 12 kasus serupa, berupa pemalsuan persyaratan guru besar. Yang pasti, menurut Supriadi, jumlah kasus pemalsuan mulai berkurang karena PT kini tidak lagi sembarang meloloskan dosen yang mau mengajukan diri sebagai guru besar. “Biasanya tiap bulan ada 100 orang yang diajukan PTS jadi guru besar, tapi sekarang hanya sekitar 20-30 orang,” katanya.
Palsukan Dokumen
Selain pemalsuan karya tulis, Ditjen Dikti juga memasukkan nama-nama 400 PTS ke dalam daftar hitam (black list). Karena, ke400 PTS itu terbukti memalsukan dokumen atau data, seperti data jumlah dosen dan jumlah mahasiswa.
Pemalsuan data itu dilakukan, antara lain guna mengelabui pemenuhan syarat rasio dosen dan mahasiswa. Di sisi lain, banyak oknum yang memanfaatkan PTS guna mendapatkan tunjangan sertifikasi dosen. “Padahal syarat untuk menerima tunjangan sertifikasi, dosen yang bersangkutan harus dosen tetap. Ternyata banyak yang mengklaim sebagai dosen tetap, padahal dia hanya guru bahkan pegawai bank,” ungkap Supriadi.
Ditjen Dikti sudah melakukan pembinaan kepada 400 PTS tersebut berupa penundaan tunjangan sertifikasi dosen, beasiswa, dan kenaikan pangkat.
“Ditjen Dikti tetap terbuka untuk PTS yang mau ‘bertobat’. Mereka diminta memperbaiki data sesuai kondisi sebenarnya. Kalau benar-benar ‘bertobat’, baru layanan dari Dikti kami buka kembali,” katanya
Dhia Prekasha Yoedha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar